3 Contoh Kasus yang ditangani Mahkamah Internasional

3 Contoh Kasus yang ditangani Mahkamah Internasional - Hallo sahabat Share, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul 3 Contoh Kasus yang ditangani Mahkamah Internasional. Mudah-mudahan isi postingan Artikel belum, Artikel PKN, Artikel Tugas, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Baca juga


  1. Keputusan Mahkamah Internasional antara Bosnia vs. Serbia.
  2. Keputusan bersejarah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) terhadap genosida atau pembunuhan secara massal dalam perkara Bosnia-Herzegovina melawan Serbia-Montenegro merupakan salah satu contoh bahwa keputusan yang bijaksana tidak selalu menjadi putusan yang baik.

    Inilah pertama kalinya negara anggota PBB mencoba untuk mengajukan perkara genosida kepada ICJ. Namun ICJ tampaknya telah menghilangkan satu-satunya kesempatan yang masih tersisa bagi pemegang kekuasaan yang sah, sejak kematian Slobodan Milosevic yang secara tidak langsung berakibat dengan dihapuskannya Mahkamah Kejahatan Perang di Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia/ICTY) yang berkemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban terhadap dirinya.

    Keputusan mahkamah yang menjelaskan bahwa walaupun apa yang telah terjadi pada tahun 1995 di Srebenica memang merupakan tindakan dari genosida namun negara Serbia tidaklah secara langsung mempunyai keterlibatan terhadap tindakan tersebut, merupakan keputusan yang diharapkan dapat diterima oleh masing-masing pihak. Putusan yang seakan-akan bersifat kompromi ini tidaklah mampu berbuat banyak, namun justru menyalakan api lama di tengah-tengah etnik Balkan yang rentan akan konflik.

    Keputusan tersebut menimbulkan berbagai isu besar. Genosida dikenal secara luas sebagai kejahatan internasional yang luar biasa dan seiring dengan meningkatnya perkembangan zaman, setiap usaha terjadinya hal tersebut sangatlah penting untuk dijadikan perhatian. Berbagai pengamat berpendapat bahwa pemerintah Serbia pada saat ini tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya.

    Menurut Alexander Solzhenistan, hal ini membuktikan bahwa pengadilan bukanlah instrument terbaik untuk mencapai rekonsiliasi dalam politik internasional. Jika pemerintahan berkuasa saat ini, Perdana Menteri Vladimir Kostunica, cukup serius mengenai kurangnya keterlibatan dalam pemberantasan sistematis terhadap golongan minoritas pada masa lalu, maka jejak rekam mereka semasa konflik seharusnya merefleksikan usaha adanya rehabilitasi dan reintegrasi.

    Pengalaman dari Eropa Barat setelah Perang Dunia ke II adalah suatu bukti bahwa bangsa yang terbagi-bagi perlu dipertemukan kembali dalam tingkatan personal. Apa yang dibutuhkan adalah naratif yang sama sebagaimana dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan membawa cerita-cerita masa lalu dari mereka yang menderita. Bersama dengan rencana untuk reintegrasi dan kompensasi tempat tinggal dan moneter untuk para pelarian di pengasingan, hal tersebut mungkin merupakan jalan terbaik untuk meyakinkan bukan hanya terciptanya perdamaian, namun juga menghilangkan rasa trauma di masa lalu.

    Terdapat juga pendapat yang ingin mencoba untuk menggambarkan perbedaan antara pemerintah dan negara. Bagaimanapun juga, sifat yang luar biasa dan kejam dari genosida membawa perintah secara moril kepada masyarakat internasional maupun nasional untuk membawa pelaku kejahatan pada posisinya. Namun, kesulitan dalam menjalankan maksud utama guna meniadakan kelompok yang dilindungi secara khusus berarti bahwa keputusan seperti halnya dikeluarkan oleh ICJ masihlah jauh dari harapan.

  3. Sengketa Perairan Ambalat.

  4. Sengketa perairan dengan negeri jiran Malaysia kembali terjadi. Setelah pulau Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia, kini Malaysia mengklaim blok Ambalat sebagai milik mereka. Ambalat merupakan sebuah blok yang kaya akan sumber daya minyak. Ambalat diklaim oleh pihak Malaysia setelah pengadilan Internasional memberikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada pihak Malaysia. Yang unik adalah pengadilan Internasional membuat keputusan itu karena pihak Malaysia terlihat serius untuk memiliki Sipadan dan Ligitan. Sedangkan Indonesia sendiri serius dalam mengelola blok Ambalat sejak tahun 80-an tanpa ada protes dari pihak Malaysia.

    Indonesia harus bisa belajar dari pengalaman kasus Sipadan dan Ligitan. Pada saat itu pihak Malaysia terus membangun fasilitas-fasilitas di Pulau Sipadan tanpa mempedulikan Mahkamah Internasional yang menginstruksikan kedua belah pihak untuk tidak menyentuh Sipadan dan Ligitan sampai ada keputusan. Indonesia mengikuti instruksi tersebut, sedangkan negara Malaysia tidak menggubrisnya dan bahkan menjadikan Sipadan sebagai daerah tujuan wisata. Pada akhirnya Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia karena Indonesia dianggap tidak menunjukkan sikap ketertarikan kepada Sipadan dan Ligitan.

    Pada kasus Ambalat, Indonesia berada di atas angin karena indonesia sudah mengeksploitasi daerah tersebut sejak tahun 80-an. Ini tentunya menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mengelola daerah tersebut. Selain itu, Indonesia memiliki keuntungan karena indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh negara pantai seperti Malaysia. Klaim Malaysia ini sendiri baru diketahui dunia akhir-akhir ini dari perjanjian dari Malaysia untuk menyerahkan penggalian sumber daya minyak di sektor Ambalat kepada Shell.

    Indonesia juga harus bisa belajar dari pengalaman kasus Timor Leste. Pelajaran yang berharga yaitu bahwa negara tetangga akan melakukan apapun untuk memperoleh minyak Indonesia. Saat itu Australia mendukung kemerdekaan Timor Timur atas nama HAM (hak asasi manusia). Namun ternyata Australia menusuk dari belakang dengan mengambil alih sebagian besar sumber daya minyak, sumber daya alam satu-satunya milik Timor Leste. Kini Timor Leste menjadi salah satu negara yang miskin di dunia. Selain dengan Indonesia, Malaysia juga pernah memiliki sengketa wilayah dengan negara Thailand.

    Masalah ini bisa diselesaikan oleh kedua pihak dengan mengelola daerah tersebut bersama-sama. Selain itu, Malaysia juga memiliki sengketa yang belum selesai dengan negara Brunei Darussalam, lagi-lagi juga bertemakan minyak. Belum termasuk sengketa rumit kepulauan Spratly yang melibatkan lebih dari 6 negara.

  5. Sengketa Sipadan dan Ligitan.

  6. Sengketa Sipadan dan Ligitan merupakan persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E /4 .1146833°N 118.6287556°E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E /4 .15°N 118.883°E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

    Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, meledak pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kemudian kedua negara itu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun tempat parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini di nyatakan selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia dengan sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

    Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN namun pihak Malaysia menolak dan beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina dan sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) dan melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

    Sikap Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 07 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara ini menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

    Keputusan dari Mahkamah Internasional, pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya adalah dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 hakim tetap dari MI, sementara satu hakim adalah pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Oleh karena itu karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak tahun 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan oleh Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dengan Indonesia di selat Makassar.

Demikian Artikel tentang 3 Contoh Kasus yang ditangani Mahkamah Internasional

Mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel 3 Contoh Kasus yang ditangani Mahkamah Internasional dengan alamat link https://share-it96.blogspot.com/2017/07/3-contoh-kasus-yang-ditangani-mahkamah.html

0 Response to "3 Contoh Kasus yang ditangani Mahkamah Internasional"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel